Sunda Wiwitan, Kepercayaan Lokal Orang Sunda yang Patut Dihormati

- 19 November 2020, 09:15 WIB
Bentuk rumah adat Sunda
Bentuk rumah adat Sunda /panjiarista/Pixabay

PR CIANJUR – Sunda Wiwitan, berarti Sunda yang asal atau Sunda yang suci. Kepercayaan lokal orang Sunda ini sekarang masih dianut oleh sebagian orang Sunda. Contohnya, di Masyarakat Adat Baduy, Banten dan Kampung Adat Cireundeu, Cimahi.

Edi S. Ekadjati dalam bukunya Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (1995), menurut naskah kuna Sunda Carita Parahiyangan, Sunda Wiwitan disebut agama Jatisunda.

Isi ajaran intinya bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Sanghyang Kersa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki).

Baca Juga: Setelah Anies Baswedan, Ridwan Kamil dan Ade Yasin akan Dimintai Keterangan oleh Polisi

Dia disebut juga Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Séda Niskala (Yang Gaib).

Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua Dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Yama dan yang lainnya) tunduk kepada Batara Séda Niskala.

Konsep kata Sanghyang

Sanghyang merupakan sebuah kosa kata khas Sunda. Akar kata sanghyang adalah hiyang yang mendapat tambahan kata sandang sang.

Edi S. Ekadjati dalam bukunya yang lain Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran (2005), dalam konsepsi budaya Sunda, hiyang mengandung makna yang gaib, suci, keramat; biasanya digunakan untuk menunjukkan Tuhan, dewa, tempat keramat, benda keramat.

Baca Juga: Mohamed Salah Dituding Bersalah, Terpapar Covid-19 Usai Hadiri Undangan Pernikahan

Sang merupakan kata sandang untuk menyatakan penghormatan.

Menurut mitologi masyarakat Kanékés (Baduy), masyarakat Sunda lainnya yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, ada tiga macam alam dalam kehidupan ini.

Pertama, Buana Nyungcung yang merupakan tempat tinggal Sanghyang Kersa, letaknya paling atas.

Kedua, Buana Panca Tengah, tempat manusia dan makhluk lainnya berdiam, dan paling bawah. Ketiga, Buana Larang, neraka.

Menurut Edi, lahirnya konsep Sanghyang dalam kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan kreasi pemikiran daripada penganut Sunda Wiwitan itu sendiri.

Hiyang bukan berasal dari jiwa manusia yang telah mati, melainkan terbentuk dengan sendirinya.

Baca Juga: Burung Beo Terbesar di Dunia, Kakapo Memenangi Penghargaan New Zealand Bird of The Year 2020

Menurut penganut Sunda Wiwitan, hiyang itu merupakan sesuatu yang gaib, diyakini adanya, bersifat tunggal, dan menguasai seluruh alam.

Dewa-dewa agama Hindu tetap diakui dan dipercayai, tetapi kedudukannya menurun, bukan lagi sebagai Yang Utama, namun hanya sebagai pembantu Sanghyang tersebut.

Konsep hiyang ini pertama kali muncul dalam teks prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) peninggalan Sri Jayabhupati, raja Kerajaan Sunda.

Dalam hal ini hiyang atau Sanghyang ditempatkan pada lokasi suci keagamaan (kabuyutan) yang dinamai Sanghyang Tapak.

Dengan demikian lokasi hiyang ini masih berada di dunia ini.

Baca Juga: TERPOPULER Hari Ini: Kemendikbud Akan Berikan Subsidi Gaji hingga Kasus Covid-19 Indonesia Naik

Isi dari prasasti itu sendiri merupakan seruan dan permohonan pada para dewa agar siapapun yang mengganggu kabuyutan Sanghyang Tapak dikutuk dan dihukum mati secara mengerikan.

Para dewa itu merupakan dewa kelompok Hindu-Siwa.

Ini bisa ditafsirkan bahwa pada saat itu telah terjadi sinkretisme kepercayaan lokal Sunda dengan agama Hindu aliran Siwa dimana lokasi hiyang yang menjadi tempat kabuyutan itu dijaga oleh para dewa aliran Hindu-Siwa terutama Siwa, Agastya, Nandiswara, Mahakala, dan Durga. ***

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (1995) Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran (2005)


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah