Ekonom Ungkap Warisan Utang Indonesia, Tak Lihat Usia, Satu Orang Warga Indonesia Kena Rp20,5 Juta

- 22 Oktober 2020, 09:37 WIB
Ilustrasi utang luar negeri (ULN) Indonesia.
Ilustrasi utang luar negeri (ULN) Indonesia. /

PR CIANJUR - Utang luar negeri Indonesia dilaporkan mencapai angka 402 miliar dolar Amerika.

Utang Indonesia dari tahun ke tahun makin bertambah menurut laporan Bank Dunia International Debt Statistics 2021.

Di antara negara-negara berpendapatan menengah dan rendah Indonesia menduduki posisi ke-6 dengan utang tertinggi.

Baca Juga: Amerika Serikat Jadi Negara Dengan Penambahan Kasus Covid-19 Tertinggi di Dunia Sampai 22 Oktober

Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengupas lebih dalam terkait masalah utang di tanah air.

Berdasarkan pada posisi utang pemerintah, Indonesia sudah memisahkan tidak menggunakan utang swasta, jadi hanya utang pemerintah.

"Karena pemerintah bertanggung jawab pada warga negaranya, jadi per Agustus 2020 itu, utang pemerintah kurang lebih Rp5.500 triliun, jumlah penduduk sekarang asumsinya adalah 272 juta penduduk, kemudian dibagi perkapita sehingga mendapatkan angka Rp20,5 juta rupiah," ucapnya.

Baca Juga: Ini Cara Dapatkan Bonus Insentif Tambahan Dari Kartu Prakerja, Nominalnya Rp150 Ribu

Bhima menjelaskan bahwa orang yang ber-KTP Warga Negara Indonesia (WNI) itu sah otomatis menanggung Rp20,5 juta rupiah per kepala.

"Selama kita WNI, kita menanggung itu, dan bayi, kalau bayi lahir baru-baru ini, ia langsung punya utang sebesar itu, dibebankan oleh pemerintah, namanya warisan utang," ucapnya.

Lalu dirinya menjelaskan pernyataan Sri Mulyani tentang utang yang telah menjadi trend global yang menyebutkan bahwa bukan hanya Indonesia saja yang mempunyai utang seperti ini.

"Permasalahannya utang itu sudah meningkat jauh sebelum ada pandemi dan ini yang kemudian narasinya utang untuk pemulihan ekonomi," ucapnya.

Baca Juga: Kekayaan Jack Ma Malah Melesat Capai Rp21.900 Triliun di Masa Pandemi, Ternyata Ini Sebabnya

Padahal menurutnya, kalo dibagi antara utang dengan belanja pemerintah, akan terlihat sebenarnya belanja pemerintah lebih dominan dari belanja birokrasi, yaitu belanja pegawai dan belanja barang.

Jika ditotal kata Bhima, belanja pegawai dan barang itu lebih dari 30 sampai 40 persen, sebagaimana diberitakan Pikiranrakyat-Bekasi.com dalam artikel "Mengerikan! Ekonom Indef Sebut Bayi yang Baru Lahir di Indonesia Sudah Berutang Rp20,5 Juta".

Lalu dirinya menjelaskan pernyataan Sri Mulyani tentang utang yang telah menjadi trend global yang menyebutkan bahwa bukan hanya Indonesia saja yang mempunyai utang seperti ini.

Baca Juga: Stefan Bradl Bandingkan Alex Marquez dengan Jorge Lorenzo: Alex Sangat Memahami Motornya

"Permasalahannya utang itu sudah meningkat jauh sebelum ada pandemi dan ini yang kemudian narasinya utang untuk pemulihan ekonomi," ucapnya.

Padahal menurutnya, kalo dibagi antara utang dengan belanja pemerintah, akan terlihat sebenarnya belanja pemerintah lebih dominan dari belanja birokrasi, yaitu belanja pegawai dan belanja barang.

"Itu yang dominan dibanding belanja yang produktif," katanya.

Jika ditotal kata Bhima, belanja pegawai dan barang itu lebih dari 30 sampai 40 persen.

Baca Juga: Ernest Prakasa Komentari Pemerintahan Jokowi, Ferdinand Hutahaean: Mungkin Kamu Lupa Bersyukur

"Makannya banyak sekali negara lain yang melakukan efisiensi birokrasi sebelum mereka melakukan penerbitan utang baru, nah itu di Indonesia sepertinya terlambat dilakukan," ucapnya.

Menurutnya, jika dilihat utang pemerintah bukan hanya sekadar dari debt to GDP atau rasio utang terhadap produk domestik bruto.

"Itu kan yang selalu dibicarakan, oh masih di bawah 40 persen, di bawah 60 persen, tapi padahal bukan hanya itu masalahnya," ucapnya.

Jadi kalo membahas utang pemerintah kata Bhima, itu juga berkaitan dengan kemampuan bayarnya.

Baca Juga: Ini Mobil Jalanan Tercepat di Dunia, SSC Tuatara Tembus 532,93km/jam

"Misalnya, ini kan kita lihat kalo utangnya luar negeri, berarti membayarnya juga harus menggunakan valas, gampangnya kalo utang dalam dolar bayarnya harus juga dolar, kan ada risiko-risiko tersendiri ya," ucapnya.

Kemudian tak hanya sampai di situ, Bhima juga menjelaskan masalah lain yang timbul dari utang berupa bunga.

"Dari porsi belanja utang itu yang paling beban itu adalah belanja bunganya, karena belanja bunga ini bisa 15 sampai 19 persen dari total belanja pemerintah pusat, itu tiap tahun sudah habis untuk bayar bunga utangnya, belum cicilan pokoknya," tutupnya.***(Ghiffary Zaka/Pikiranrakyat-Bekasi.com)

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: Pikiran Rakyat Bekasi


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x