Konsep hiyang ini pertama kali muncul dalam teks prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) peninggalan Sri Jayabhupati, raja Kerajaan Sunda.
Dalam hal ini hiyang atau Sanghyang ditempatkan pada lokasi suci keagamaan (kabuyutan) yang dinamai Sanghyang Tapak.
Dengan demikian lokasi hiyang ini masih berada di dunia ini.
Baca Juga: TERPOPULER Hari Ini: Kemendikbud Akan Berikan Subsidi Gaji hingga Kasus Covid-19 Indonesia Naik
Isi dari prasasti itu sendiri merupakan seruan dan permohonan pada para dewa agar siapapun yang mengganggu kabuyutan Sanghyang Tapak dikutuk dan dihukum mati secara mengerikan.
Para dewa itu merupakan dewa kelompok Hindu-Siwa.
Ini bisa ditafsirkan bahwa pada saat itu telah terjadi sinkretisme kepercayaan lokal Sunda dengan agama Hindu aliran Siwa dimana lokasi hiyang yang menjadi tempat kabuyutan itu dijaga oleh para dewa aliran Hindu-Siwa terutama Siwa, Agastya, Nandiswara, Mahakala, dan Durga. ***
Artikel Rekomendasi