Pernah Menjabat Wakil Presiden di Era Kepemimpinan SBY dan Jokowi, Jusuf Kalla Bandingkan Keduanya

- 23 September 2020, 11:47 WIB
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI),  Jusuf Kalla.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla. /Instagram Jusuf Kalla

PR CIANJUR - Sosok Muhammad Jusuf Kalla (JK) pernah menjabat wakil presiden Republik Indonesia di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).

Periode 2004-2009 JK menjadi wakil presiden ke-10 mendampingi SBY dan di periode 2014-2019 kemampuannya dilirik untuk kembali menjabat posisi wakil presiden di pemerintahan Jokowi.

Selesai dengan pengabdiannya kepada negara, Jusuf Kalla mengaku bahwa kegiatannya kini mengurus Palang Merah Indonesia (PMI) dan dewan masjid seperti dikutip Pikiran-Rakyat.com dari akun Youtube Helmy Yahya Bicara yang diunggah pada Selasa, 22 September 2020.

Baca Juga: Lihat Merchant Baru ShopeePay Minggu ini untuk Sambut Gajian

"Sehari-hari sekarang ini ngurus Palang Merah Indonesia (PMI), ngurus dewan masjid juga ya melihat bisnisnya anak saya, hanya memberikan saran-saran itu saja jadi (kerjaan) sampingan juga dengan cucu-cucu itu penting," ujarnya.

Kakek yang memiliki 15 cucu tersebut dikenal pula sebagai pribadi yang luar biasa. Khususnya saat mengawali karir pada posisi Pejabat Eksekutif Tinggi (CEO) di usia 26 tahun.

Semasa kuliah, ia pun aktif dalam pergerakan dewan mahasiswa, sebagaimana diberitakan Pikiran-Rakyat.com sebelumnya pada artikel "Bandingkan Gaya Kepemimpinan Presiden Jokowi dan SBY, Jusuf Kalla Sebut Salah Satu Lebih Terarah".

Namun saat diminta memilih antara menjadi politisi dan saudagar, Jusuf Kalla mengambil pilihan kedua.

Baca Juga: Jokowi Minta PBB Kerja Sama Agar Dapat Akses Setara Terhadap Vaksin Covid-19 yang Aman dan Murah

"Banyak orang yang ingin jadi politisi, tapi jadi saudagar tidak banyak apalagi di kalangan pribumi jadi semua orang mengantre untuk jadi politisi tapi tidak ada yang ngantre untuk jadi saudagar. Kita harus bertahan di situ memberi contoh," tambahnya.

Sebelum menjadi wakil presiden selama dua periode, Jusuf Kalla memasuki dunia pemerintahan sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah pemerintahan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri.

Kemampuannya lalu mengantarkan Jusuf Kalla menjadi wakil presiden RI yang ke-10 dan ke-12.

Baca Juga: Telah Diuji Pada Putrinya, Putin Tawarkan Vaksin Covid-19 Buatan Rusia ke PBB Secara Gratis

Menempati posisi tersebut dua kali dengan pemimpin berbeda, menurut Jusuf Kalla tentu memiliki perbedaan.

"Ya sama lah (perbandingannya), cuma beda (gaya) kepemimpinannya," ujarnya.

JK menambahkan, pada era SBY ia diberi kepercayaan memegang permasalahan ekonomi di Indonesia.

"Kalau zamannya Pak SBY semua masalah ekonomi diserahkan kepada saya kalau zamannya Pak Jokowi semua soal dirapatkan, semua soal," ujarnya.

Bahkan menurut Jusuf Kalla, dalam satu minggu Presiden Joko Widodo dapat melangsungkan rapat 4-5 kali.

Baca Juga: Negaranya Dibayangi Kemiskinan, Ramos Horta Sebut Bank BUMN Indonesia 'Menjagal' Ekonomi Timor Leste

"Jadi rapatnya bisa satu minggu bisa 4-5 kali. Begitu gayanya, keputusan diambil bersama," tambahnya.

Sementara SBY lebih terarah sebab kerap mengambil keputusan secara cepat.

"Zaman Pak SBY lebih ringkas, lebih terarah lebih cepat lah kita ngambil keputusan," ujarnya.

Jusuf Kalla pun dikenal sebagai juru damai di Indonesia. Seperti permasalahan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang membuatnya turun tangan meredakan konflik.

Baca Juga: Masuk Dalam Tim Pemenangan Menantu Jokowi, IPI: Sadiaga Memiliki Tanggung Jawab Membantu Pemenangan

"Jadi kalau kita mendamaikan orang pertama pengetahuan, harus mengetahui, mempelajari masalah itu. Latar belakangnya, apa sebabnya. Kedua kita harus menjaga diri kehormatan dari yang berkonflik jadi win-win. Tidak boleh ada yang merasa kalah," ujarnya.

Saat mendamaikan pemberontakan GAM, Jusuf Kalla pun menerapkan hal-hal tersebut.

"Maka kita lihat permasalahannya apa, backgroundnya apa. Banyak yang bilang masalah Aceh itu masalah agama, syariah, ternyata menurut saya tidak itu masalah ekonomi bahwa Aceh menghasilkan minyak dan gas begitu besar tapi pembangunan di Aceh rendah maka merasa dianaktirikan maka muncullah pemberontakan saat itu," tambahnya.***(Farida Al-Qodariah/Pikiran-Rakyat.com)

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: YouTube Sobat Dosen Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x