PDKT dengan Sejarah, Mata Pelajaran yang Katanya Sangat Membosankan

19 November 2020, 18:33 WIB
Ilustrasi sejarah. /pexels

 

PR CIANJUR - Sejarah bukan hanya tentang masa lalu usang yang tak bermakna.

Sengaja judul tulisan ini sesuai dengan dua buah buku yang digunakan sebagai sumber tulisan ini.

Kedua buku itu adalah Apa Itu Sejarah (2014) karya E.H. Carr dan Apa Guna Sejarah (2014) karya A.L. Rowse.

Baca Juga: Terkenal dengan Stigma Negatif, Ternyata Tanaman ganja Memiliki Manfaat Baik

Masing-masing, baik Carr maupun Rowse merupakan sejarawan asal Inggris yang hidup sezaman pada kurun abad ke-20. Kedua karya mereka saling bertautan sebagai pengantar untuk memahami apa kegunaan praktis sejarah dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama, mari kita berkenalan dengan Sejarah. Mata pelajaran yang terkadang membosankan diajarkan sedari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Sejarah berkaitan dengan fakta. Fakta dalam konteks kesejarahan adalah suatu hal yang terjadi sebagaimana adanya.

Pandangan ini berdasarkan pada diktum terkenal sejarawan Jerman, Leopold von Ranke, wie es eigentlich gewesen ist, “sejarah terjadi sebagaimana adanya”.

Contohnya, “Saya sarapan nasi goreng pada pagi hari tadi”. Secara sekilas, tak ada yang salah dengan pernyataan itu, benar-benar “sebagaimana adanya”.

Baca Juga: Akibat Pandemi Covid-19, Kemenpan-RB Sebut CPNS 2019 Jadi yang Terakhir, Rekrutmen Dibuka Lagi 2023

Namun, bila ditelisik dan dipikirkan lebih mendalam, akan timbul pertanyaan, “Nasi Goreng apa yang dia makan ? Nasi Goreng tradisional ? Oriental ? Indisch Food ? Apakah memakai kecap atau tidak ? pedas atau tidak ? memakai bawang goreng atau tidak ?”.

Dari satu kejadian di masa lalu, jika kita berpegang teguh pada diktum Leopold von Ranke itu, sejarah akan menjadi kering dan miskin penafsiran dan pemaknaan. Sejarah menjadi “biasa-biasa saja”. Tak bermakna.

Sejarah terdiri dari kumpulan fakta yang telah dipastikan.

Fakta-fakta yang tersedia bagi sejarawan ada di dalam dokumen, prasasti, bagaikan ikan di atas meja potong penjual ikan (Carr, 2014: 5).

Hal ini berarti bahwa Sejarah (dengan huruf “S” besar) merupakan kumpulan fakta dari masa lalu yang telah dipilah dan dipilih sedemikian rupa oleh sang subjek, dalam konteks ini, Sejarawan untuk disajikan kepada khalayak.

Bagaikan seorang mahasiswa yang pindah ke kosan barunya, dia memilah dan memilih barang-barang yang sekiranya memang diperlukan untuk kebutuhan pribadinya.

Baca Juga: Jelang Pilkada 2020, Polres Trenggalek dan Situbondo Ikuti Kegiatan Khotmil Qur’an Polda Jatim

Sesekali meminta pendapat kawannya tentang barang apa yang harus ada di kosannya, namun tetap pada akhirnya dialah Tuan penguasa di kamar kosannya.

Hal tersebut merupakan analogi daripada Sejarah.

Ingat, Sejarah itu direkonstruksi, dibuat, disajikan kembali di masa kini oleh sang Sejarawan dengan selera pribadinya.

Sudah tentu ini akan sangat subjektif, tergantung selera sang Sejarawan. Bisa dipastikan bahwa diktum Ranke yang terkesan “Objektif” itu merupakan suatu pernyataan munafik.

Tidak ada Sejarah yang sebagaimana adanya, tidak ada Sejarah yang “biasa saja”.

Setiap Sejarah bermakna, karena diberi tafsiran oleh sang Sejarawan itu sendiri. Minimal, Sejarah itu sangat bernilai bagi Sang Sejarawan secara pribadi.

Carr menutup dengan sangat elegan apa itu Sejarah.

Baca Juga: Garuda Muda U-16 Terus Asah Kemampuan, Bima Sakti: Saya Merasa Kami Masih Banyak Kekurangannya

“Sejarah merupakan proses interaksi kontinu antara Sejarawan dengan fakta-faktanya, dialog tanpa akhir antara masa kini dengan masa lalu” (Carr, 2014: 35).

Jadi, jangan harap ada suatu Sejarah yang “objektif”. Yang ada adalah suatu Sejarah yang “intersubjektif”, ketika satu fakta sejarah yang telah diolah, ditafsirkan, diperkuat oleh fakta-fakta sejarah lainnya yang telah diberi penafsiran pula.

Guna Sejarah

Lalu, apa gunanya Sejarah ? Apakah Sejarah yang telah diberi penafsiran, melalui proses historiografi dan menghasilkan sebuah karya tulis bisa diaktualisasikan menjadi suatu tindakan praksis yang nyata ?

Atau Sejarah hanyalah suatu karya tentang masa lalu yang disimpan di rak-rak buku berdebu di sudut perpustakaan tak terurus ? A.L. Rowse meyakinkan kita bahwa Sejarah tidak seperti itu.

Ketika menjadi Perdana Menteri kabinet perang Britania Raya dalam rangka menghadapi agresi Jerman di Perang Dunia II (PD II).

Baca Juga: Elegan, Inilah Jersey Ketiga Timnas Indonesia dengan Warna Dominan Hitam

Winston Churchill mengambil kebijakan perangnya berdasarkan Sejarah.

Churchill meyakini bahwa Hitler tak akan bisa menaklukan Kepulauan Inggris dan meskipun Hitler merupakan seorang yang menyukai Sejarah sama seperti Churchill, Hitler lupa bahwa para pendahulunya, Frederick yang Agung maupun Napoleon Bonaparte selalu kalah dalam pertempuran laut melawan Inggris !

Dalam film Soekarno (2013), ketika Hatta dan Soekarno berdiskusi atas dasar apa seluruh suku bangsa di Nusantara yang dijajah oleh Belanda harus bersatu, dengan tegas Soekarno menyatakan pada Hatta dengan yakinnya, “Atas dasar persamaan nasib sebagai suatu bangsa yang terjajah, Bung !”.

Sejarah kolonialisasi Belanda dan bangsa Eropa lainnya dijadikan pijakan oleh Soekarno untuk menyatukan kita semua, Bangsa Indonesia !

Tali simpul historis yang dirajut khususnya oleh sang perajut Soekarno inilah yang kita pegang teguh sekarang.

Baca Juga: Untuk Tetapkan Pelanggar Protokol Kesehatan Jadi Tersangka, Polisi Membutuhkan Dua Alat Bukti Kuat

Komodifikasi Sejarah

Paling aktual adalah tulisan dari Bambang Purwanto dalam jurnal Bakti Budaya, Mengapa Indonesia Memerlukan Ilmu Sejarah ? Beberapa Gagasan untuk ‘Hilirisasi’ Historiografi.

Bambang berpendapat bahwa komodifikasi Sejarah yang bertautan dengan kemajuan cepat teknologi dan sistem informasi mempermudah pekerjaan Sejarawan dan menantang mereka untuk menghadirkan ide-ide baru sebagai bagian dari inovasi dan penemuan baru itu.

Kajian Sejarah nantinya tidak hanya normatif, namun juga memiliki sumbangan nyata terhadap jenis tindakan dan peluang nyata ekonomi yang dapat dilakukan. Sejarah tidak hanya menjadi konsumsi elit saja, namun juga membumi di masyarakat Ibu Pertiwi.

Sejarah tidak hanya merupakan refleksi terhadap masa lalu, namun juga merupakan proses kontemplatif di masa kini untuk menyusun rencana di masa depan.

Inilah unsur praksis sejarah yang sering kali dilupakan oleh Sejarawan itu sendiri.***

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: Berbagai sumber

Tags

Terkini

Terpopuler