Sejarawan Beberkan Sejumlah Fakta Penting Mengenai Peran WNI Etnis Tionghoa Pada Masa Sebelum Kemerdekaan

13 Februari 2021, 13:21 WIB
ILUSTRASI etnis Tionghoa. /Pixabay

PR CIANJUR - Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia memiliki sejarah panjang. Hal itu ada kaitannya dengan perayaan Imlek yang setiap tahun mereka rayakan, seperti yang disampaikan Sejarawan Bonnie Triyana pada saat perayaan Imlek, Jumat, 12 Februari 2021.

“WNI etnis Tionghoa terbukti ikut menghiasi wajah masa perjuangan kemerdekaan Indonesia,” kata Bonnie dalam acara virtual yang diselenggarakan oleh PDIP itu.

Adapun Partai Tionghoa Indonesia berdiri pada tahun 1932, dan partai tersebut ikut terlibat dalam politik sebelum kemerdekaan, sebagaimana yang disampaikan Bonnie.

Baca Juga: Tiga Pola Penting Mengasuh Anak Di Era Digital, Perhatikan Hal Penting Ini

“Pada tahun 1932 ada Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian. Dia seorang etnis Tionghoa yang berwawasan nasionalis Indonesia. Dia juga berkawan dengan Bung Karno,” kata Bonnie.

Dia mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia, bahkan sebelumnya ada TNI AL dari etnis Tionghoa bernama John Lie yang ikut berjuang dalam meraih kemerdekaan, dan kini ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

“Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan. Mereka semua punya peran, punya posisi, berdampingan dengan sejarah kita,” ucap Bonnie.

Baca Juga: Situs Porno yang Termuat Dalam Buku Sosiologi SMA Hebohkan Masyarakat, Kemendikbud Ambil Tindakan

Dengan fakta itu, seharusnya tidak ada lagi isu rasial terhadap WNI etnis Tionghoa. Walaupun sebelumnya isu rasial sudah ada saat penjajahan masa Belanda, sebagaimana yang dikatakan Bonnie.

Pada tahun 1854, rasialisme atau yang pada saat itu disebut Regering Reglement telah dilakukan oleh para penjajah dengan mengelompokkan masyarakat Hindia Belanda berdasarkan ras.

Pertama orang Timur Asing dan orang China, orang kulit putih atau Eropa, kemudian Inlander atau pribumi.

“Ini sangat diskriminatif. Politik rasial yang sangat diskriminatif,” kata Bonnie menegaskan, seperti dikutip Pikiranrakyat-cianjur.com dari Antara.

Para pemuda bersatu saat peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, sekaligus menandai awal perlawanan terhadap kebijakan rasialis Kolonial.

Baca Juga: Bahaya Keluhan Gigi Berlubang di Masa Pandemi Covid-19

“Jadi waktu ada wakilnya. Orang Tionghoa, orang Ambon, Orang Sumatera, dan dari mana-mana sudah mewakili daerah-nya kemudian berikrar untuk menjadi Indonesia,” ujar Bonnie.

“Jadi meninggalkan kesadaran pra-Indonesia yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan segregasi ras,” sambung Bonnie.

Dalam pidato yang disampaikan Bung Karno 1 Juni 1945, mengatakan bahwa Indonesia adalah negara oleh semua dan untuk semua.

Di samping itu, keinginan bersatu begitu kuat pada saaat Sumpah Pemuda, dan pada saat era Presiden Soekarno peryaan Imlek diperbolehkan.

Baca Juga: UMKM Dapat Kucuran Dana dan Sejumlah Kebijakan Lainnya dari Pemerintah karena Alasan Ini

“Paham-nya nasionalisme modern yang tidak tersekat latar belakang agama, etnis, maupun ras,” ujar Bonnie.

Kemudian peryaan Imlek dilarang yaitu pada masa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Larangan itu berjalan selama 30 tahun.

Saat kepemimpinan Soeharto berakhir barulah Imlek kembali dirayakan dan kebijakan itu disempurnakan Presiden Megawati Soekarnoputri, menetapkan bahwa Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2002 dan sampai sekarang.

“Sehingga orang tidak hanya warga Tionghoa tapi non-Tionghoa ikut merayakannya sebagai satu rasa kebersamaan, sebagai satu rasa dan bangsa yang tidak membeda-bedakan ras dan etnis,” kata Bonnie.

Baca Juga: Kominfo Resmi Blokir Tiktok Cash Usai Dinilai Melanggar Hukum dengan Praktik Berikut

“Sehingga kita sebagai sebuah bangsa tidak bisa dipecah belah oleh sentimen-sentimen yang sempit, bernada hasutan yang bersifat rasial,” ucap Bonnie.***

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler