PR CIANJUR – Namanya Raden Ajeng Kartini, perempuan yang melampaui zamannya. Dikutip Pikiran Rakyat Cianjur dari Panggil Aku Kartini Saja dan Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
Jika kita merenungkan dan membaca kembali buku-buku pelajaran sejarah yang kita pelajari sedari duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, pasti akan tercantum di beberapa halaman buku tersebut tentang sosok seorang perempuan idaman bagi para perempuan setelah masanya.
Perempuan pelawan zamannya melalui keranjingannya menulis dan membaca buku serta berkorespondensi lewat surat-menyurat dengan teman-teman Eropa-nya pada kala itu.
Baca Juga: Kota Bandung Kembali Terapkan PSBB, Sejumlah Ruas Jalan Ditutup
Ialah sosok Raden Ajeng Kartini. Jasanya terhadap bangsa bahkan sampai dibuat sebuah lagu berjudul 'Ibu Kita Kartini'.
Salah satu potongan liriknya sangat menggugah semangat emansipasi dan egalitarian kaum perempuan di negeri ini:
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Baca Juga: Diduga Kembali Konsumsi Narkoba, Artis Senior Ini Ditangkap Polisi
Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu novelnya Panggil Aku Kartini Saja yang menceritakan tentang Kartini menuliskan bagaimana perjuangan Kartini kecil sebelum dipingit pada usia 12 tahun untuk belajar.
Karya tersebut merupakan sebuah novel sejarah berdasarkan data surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Eropanya misalnya Tuan dan Nyonya Abendanon.
Pada masa hidup Kartini, yakni akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, kungkungan feodalisme Jawa masih sangat kental terasa.
Pergaulan antara perempuan bangsawan pribumi dengan dunia luar dibolehkan tapi sangat dibatasi.
Baca Juga: Diajak Moeldoko Menjadi yang Pertama Disuntik Vaksin Covid-19, Aa Gym Ajukan 1 Syarat
Kartini mulai masuk pingitan pada usia 12 tahun.
Padahal dalam sebuah suratnya kepada Tuan dan Nyonya Abendanon, Kartini menuliskan bahwa ia memiliki semangat yang besar untuk melanjutkan studinya, tetapi karena kungkungan budaya dan tradisi yang ada pada waktu itu, ia hanya bisa menuruti apa yang diperintahkan oleh ayahnya, bupati Jepara, Raden Mas Aria Sosroningrat.
Budaya patriarki yang sangat kuat pada waktu itu menyebabkan kaum perempuan pribumi seakan-akan tidak memiliki daya upaya jika kaum laki-laki bertindak semena-mena dan bahkan mengatur kemana arah jalan hidup mereka.
Mereka hanya bisa matuh dan tunduk pada kekuasaan kaum laki-laki. Perempuan sering dijadikan objek, bukan subjek untuk bersama-sama menjalani kehidupan.
Baca Juga: Sebut Indonesia Berpotensi Jadi Adikuasa Produk Kelautan, Adik Prabowo: Menteri Lama Sangat Keliru
Bahkan perempuan dijadikan sebagai pelampiasan nafsu seks belaka. Dalam roman Gadis Pantai, Pramoedya lagi-lagi menjadikan sosok perempuan sebagai objek pembahasannya.
Ia menggambarkan dengan ciri khas tulisannya bagaimana keadaan perempuan pribumi pada waktu itu yang harus menikah dengan tuan-tuan Eropanya hanya untuk memenuhi nafsu birahi tuan-tuan Eropa itu semata.
Sebutan “Nyai” yang melekat pada masa itu pada seorang perempuan mengindikasikan bahwa ia adalah istri simpanan dari orang-orang Eropa itu.***
Artikel Rekomendasi