Jangan Menyerah! Akses Pendidikan Adalah Hak Semua Warga Negara Indonesia

10 Desember 2020, 15:53 WIB
Ilustrasi pendidikan. HUT, Perguruan tinggi di Tiongkok Mengadakan program Bahasa Indonesia. /Dok PRFM.

PR CIANJUR – Guna mengatur pendidikan di Hindia-Belanda, pemerintah kolonial mengeluarkan Indische Staatsblad 1893 Nomor 125 yang menetapkan pembagian sekolah bumiputra menjadi dua kelas. Dikutip Pikiran Rakyat Cianjur dari berbagai sumber.

Sekolah dasar kelas satu diperuntukkan untuk kaum priayi dan kaum terkemuka. Lulusannya diproyeksikan untuk bekerja di bidang birokrasi, perdagangan, dan perusahaan.

Mereka diajarkan untuk membaca, menulis, menghitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan umum, dan ilmu ukur tanah.

Baca Juga: Sejarah Pelajar Islam Indonesia (PII), Organisasi Kader Pelajar Muslim Indonesia

Lama belajarnya 5 tahun. Pengajarnya merupakan lulusan Kweekschool ( Sekolah Guru ). Bahasa pengantar pengajaran adalah bahasa daerah.

Adapun sekolah dasar kelas dua diperuntukkan untuk anak rakyat biasa. Lulusannya diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat secara umum.

Lama pendidikannya 3 tahun. Mereka diajarkan untuk membaca, menulis, dan berhitung. Pengajar tidak dituntut memiliki kualifikasi khusus.

Bahasa pengantarnya bahasa Melayu atau daerah. Bisa kita lihat bagaimana adanya diskriminasi fasilitas pendidikan bagi anak-anak pribumi yang bersekolah di kelas dua pada masa itu.

Selain itu pemerintah kolonial membagi fasilitas pendidikan berdasarkan ras.

Mereka mengadakan sekolah khusus orang Eropa, Europesche Lagere School ( ELS ), lalu ada sekolah khusus orang Tionghoa Hollandsch Chineesche School ( HCS ), dan juga ada Hogere Burger School.

Baca Juga: Begini Cara Mudah Cairkan Bantuan KIP Melalui PIP 2020

Sekolah kejuruan dengan jurusan perdagangan dan kelautan, dan jurusan teknik. Lama pendidikannya 3 tahun. HBS diperuntukkan untuk pribumi.

Terkait dengan fakta sosio-historis diatas, pada saat inipun ketimpangan pendidikan masih sangat terasa.

Apalagi antara sekolah yang berada di pusat pemerintahan dengan di daerah.

Kurikulum 2013 yang diwacanakan untuk diterapkan menggantikan KTSP 2006 ternyata belum sepenuhnya diterapkan oleh sekolah-sekolah yang ada di daerah.

Penulis mendapati di daerah penulis sendiri di Kabupaten Cianjur, hanya ada beberapa sekolah yang berani berkomitmen untuk menerapkan peraturan tersebut.

Sedangkan untuk daerah pelosok belum berani menerapkan kurikulum 2013 karena masalah fasilitas dan SDM dari sekolah itu sendiri.

Belum lagi tenaga pengajar antara sekolah negeri dan sekolah swasta yang masih terasa kesenjangannya.

Baca Juga: Sule Berang pada Teddy yang Seolah Mencecar Harta Gana-gini pada Anak-anak Lina Jubaedah

Baik dari gaji, tunjangan, fasilitas dan lainnya.

Fasilitas sarana dan pra-sarana pun, seperti kelas siswa, kantor sekolah, kantin, kamar mandi, pos pengamanan, laboratorium penunjang seperti ruang komputer, dan ruang praktikum sains pun lebih layak sekolah negeri daripada swasta. Ini bisa kita analogikan dengan apa yang terjadi pada masa Hindia-Belanda dulu.

Dimana sekolah negeri memang lebih diperhatikan pemerintah daripada swasta. Padahal keberadaan sekolah swasta merupakan pelengkap bagi sekolah negeri. Yang seharusnya mereka pun diberi atensi yang memadai untuk mencetak anak didik mereka yang berkualitas.

Menurut Prof. Dr. S. Nasution, di sekolah, guru sangat berperan penting untuk memainkan peran ganda.

Di samping harus memiliki wibawa sebagai seorang pengajar, gurupun berperan sebagai orang tua “sementara” murid.

Seorang orang tua pasti ingin yang terbaik bagi kebutuhan anaknya.

Baca Juga: Pantau Quick Count Pilkada Serentak 2020 Melalui 3 Link Ini Jika Website KPU Error

Seharusnya guru pun harus paham betul tentang potensi yang dimiliki oleh masing-masing siswa-siswinya.

Dalam hal ini kita bisa tarik garis pemahaman bahwa guru harus paham betul tentang mekanisme pendaftaran ke jenjang perguruan tinggi dan serba-serbinya.

Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer pun mengangkat tokoh emansipasi wanita Indonesia yakni RA Kartini yang sangat haus akan ilmu, walaupun ia tidak meneruskan pendidikannya karena permasalahan feodalisme klasik saat itu dimana wanita akan dipingit sebelum ia dinikahkan.

Namun Kartini sering melakukan diskusi berkorespondensi dengan teman-temannya di Eropa. Kartini pun mengakui bahwa pendidikan merupakan alat yang sangat penting untuk menerangi di saat gelap. Door duisternis tot licht, habis gelap terbitlah terang.

Sebagian besar masyarakat kita pun ketika membicarakan masalah perkuliahan pasti mengalami masalah yang serius. Yakni masalah sosial-ekonomi.

Baca Juga: Peluang Usaha yang Dipredisksi Akan Jadi Trend di Tahun 2021, Calon Enterpreneur Silakan Merapat

Tetapi jika kita mengacu pada UUD 1945, dan pada peraturan perundang-undangan yang mendasari pemberian bantuan pendidikan seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 96 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi.

Ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 53A.

Ada dua lagi yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Bagian Kelima Pasal 27 ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 76 (1).

Masyarakat yang kurang mampu secara sosial-ekonomi berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak untuk memperbaiki taraf hidup mereka.***

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: Berbagai sumber

Tags

Terkini

Terpopuler