UU Cipta Kerja Berpotensi Ancam Dunia Pendidikan, P2G: Jalan Masuk Kapitalisasi Pendidikan

- 6 Oktober 2020, 18:05 WIB
ilustrasi pendidikan di sekolah.
ilustrasi pendidikan di sekolah. /Kemendikbud.

PR CIANJUR - Omnibus Law menimbulkan kontoversi, terlebih RUU Cipta Kerja telah disahkan DPR RI menjadi UU Cipta Kerja pada Senis, 5 Oktober 2020.

UU Cipta Kerja membuat banyak pihak gelisah akan apa yang mungkin bisa terjadi setelah penerapan undang-undang ini.

Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan Undang-Undang Cipta Tenaga Kerja dianggap masih mengandung pasal yang memberi jalan luas kepada praktik komersialisasi pendidikan.

Baca Juga: Ini Dia Top Go-To Merchant Baru ShopeePay yang Bermanfaat untuk Kamu!

UU Cipta Kerja dinilai menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan.

Setelah membaca draft final UU yang sudah disahkan DPR, ia mengaku menemukan masih ada pasal yang memberi jalan luas kepada praktik komersialisasi pendidikan.

Dengan kata lain, omnibus law UU Ciptaker menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan.

Sebagaimana diberitakan Pikiran-rakyat.com sebelumnya pada artikel "Omnibus Law juga Ancam Pendidikan, P2G: UU Cipta Kerja Jalan Masuk Kapitalisasi Pendidikan". Ia menyebutkan, dalam pasal 26 dimasukkan entitas Pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha.

Baca Juga: Mahasiswa Soroti Satu Tahun Jokowi-Ma'aruf Pada Demo UU Cipta Kerja di DPRD Jabar

Kemudian pasal 65 menjelaskan "Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini."

Lalu, ayat 2 mengatakan, "Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah."

“Artinya pemerintah (eksekutif) dapat saja suatu hari nanti, mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan, sebab sudah ada payung hukumnya,” katanya, Selasa, 6 Oktober 2020.

Satriwan kemudian menyebutkan, Pasal 1 (4) dalam UU ini menyebutkan definisi "Perizinan Berusaha" adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.

Baca Juga: Soal Pengesahan UU Cipta Kerja yang Kontroversial, Ganjar Pranowo Ajak Diskusi Semua Pihak Terkait

“Jelas sekali pendidikan direduksi menjadi suatu aktivitas industri dan ekonomi,” tuturnya.

Satriwan mengatakan, masih bertahannya pasal yang akan menjadi payung hukum kapitalisasi pendidikan di atas menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan "Prank" terhadap dunia pendidikan termasuk pegiat pendidikan.

“Sebelumnya, dengan pedenya mereka mengatakan cluster pendidikan telah dicabut dari RUU ini, tapi ternyata sebaliknya,” kata dia.

Atas hal tersebut, P2G dikatakannya menolak dan mengecam masih bercokolnya cluster pendidikan dalam UU ini.

Ia menyebutkan 4 poin penolakan. Pertama adalah alasan ideologis. Ia mengaku, telah menganalisis bahwa dijadikannya pendidikan sebagai sebuah aktivitas usaha yang muatannya ekonomis mengkhianati nilai Pancasila khususnya sila II dan V.

Baca Juga: Tolak UU Cipta Kerja Mikrofonnya Dimatikan, Irwan Fecho: Semoga Tidak Ada Lagi Insiden Seperti Ini

“Sebab pendidikan nanti semakin berbiaya mahal, jelas-jelas akan meminggirkan anak-anak miskin, sehingga tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia tidak akan pernah terjadi.

Yang muncul adalah pendidikan bukan lagi sebagai aktivitas peradaban, melainkan semata-mata aktivitas mencari untung atau laba,” tuturnya.

Begitu pula prinsip keadilan dalam pendidikan, menurutnya, hanya akan jadi utopia. Pasalnya, pendidikan yang dikomersialisasikan menjadi pintu masuk ketidakadilan.

Kemudian alasan yuridis konstitusional. Dia menambahkan, UU Ciptaker mengkhianati jiwa UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 alinea IV; Pasal 28C ayat 1; dan Pasal 31 ayat 1.

Baca Juga: Pasukan FKPPI Rayon Bumiayu Terjun Lagi ke Jalan TMMD Reguler Brebes

“Di situ terang-benderang menjelaskan bahwa mendapatkan pendidikan merupakan hak dasar warga negara. Sekarang bagaimana semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan, ketika pendidikan menjadi mahal dan menjadi sebuah aktivitas ekonomi, menjadi sebuah kegiatan berusaha?

Rasanya saya jadi malu mendidik siswa tentang materi hakikat demokrasi, kedaulatan rakyat, dan lembaga DPR, jika DPR sendiri tidak benar-benar mewakili aspirasi rakyat, tetapi mewakili investor. DPR bertanggungjawab atas dibukanya kembali kapitalisasi pendidikan," ujar guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ini.

Satriwan menambahkan, para guru PPKn dan Sejarah seindonesia wajib memberikan pemahaman ke siswa, betapa lebih mengancamnya neoliberalisme dan neokapitalisme ketimbang ribut melulu soal kebangkitan PKI yang sudah bangkrut itu.

Baca Juga: Tak Bisa Sembarangan, Remdesivir Hanya Digunakan Pada Keadaan Darurat, Berikut Penjelasan Pakar UGM

Lebih lanjut adalah alasan pedagogis. Kepala Bidang P2G Fauzi Abdillah mengatakan, orientasi memperoleh keuntungan/laba dalam pendidikan mengabaikan pendekatan student-centered yang fokus mengatasi kebutuhan belajar, minat, dan aspirasi dari siswa.

Siswa perlu mendapatkan pengalaman belajar dan pencapaian pembelajaran yang mencukupi, bukan seberapa besar guru atau sekolah mendapatkan untung.

Ia mengatakan, kualitas pendidikan idealnya tidak ditentukan oleh seberapa mahal sekolahnya. Hal tersebut berpotensi menghapus gagasan pendidikan berkualitas harus inklusif dan adil, agar kesempatan belajar sepanjang hayat bisa terwujud untuk semua.

Tanpa terkecuali, upaya pendidikan harus berkualitas untuk memenuhi hak warga negara Indonesia.

Baca Juga: Puan Matikan Mikrofon Anggota Rapat RUU Cipta Kerja, Pengamat: Seperti Anak-anak

Idealnya pendidikan harus lepas dari pengaruh seberapa besar investasi yang masuk, serta seberapa untung yang didapat. “Jangan sampai justru ini jadi kenormalan baru, bahwa kita harus mengeluarkan biaya yang banyak agar bisa mengakses pendidikan yang berkualitas,” katanya.

Lalu, alasan keempat, katanya, secara sosiologis, munculnya perbedaan performa lembaga pendidikan mahal dan murah akan memperlebar jurang kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat.

Ekosistem pendidikan yang eksklusif dan diskriminatif tersebut akan mempersulit upaya mempersatukan bangsa.

“Negara wajib memenuhi hak warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, bukan pendidikan yang menguntungkan segelintir kapitalis dari kalangan atas,” tuturnya.

Baca Juga: Krisdayanti Ikut Serta Sahkan UU Cipta Kerja: Nantinya Memudahkan Pekerja di Masing-masing Bidang

Satriwan mengatakan, jalan terakhir sebagai upaya penolakan UU ini adalah masyarakat sipil dan para pegiat pendidikan khususnya dapat membawa UU ini ke MK untuk di-ujimateril-kan.

“Semoga UU ini bernasib sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan dan Pasal tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) dalam UU Sisdiknas, yang keduanya dibatalkan oleh MK beberapa tahun lalu,” katanya. ***(Muhammad Ashari/Pikiran-Rakyat.com)

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x