Wacana Penundaan Pemilu 2024, Pengamat : Hanya Dalih Politik untuk Incar Posisi Cawapres

3 Maret 2022, 17:26 WIB
Ilustrasi Pilpres. Pengamat politik Universitas Jember, Agung Purwanto : wacana penundaan Pemilu 2024 tidak ada urgensinya, hanya untuk naikkan daya tawar parpol. /Pixabay/mohamed_hassan

JENDELA CIANJUR - Wacana penundaan Pemilu 2024 dinilai pengamat politik Universitas Jember, Agung Purwanto, hanya sebagai dalih partai politik (parpol) untuk menaikkan posisi tawar dalam Pemilu Presiden 2024.

Agung Purwanto justru mempertanyakan urgensi dari penundaan Pemilu Serentak 2024.

Berbagai alasan yang diusung, mulai dari pandemi hingga penurunan ekonomi justru dipertanyakan.

Baca Juga: Tak Diberi Dispensasi Karantina, Hotman Paris : Kenapa VIP Bisa, Sedangkan Rakyat Biasa Tidak Ada Dispensasi!

"Alasan terjadinya pandemi Covid-19 terbantahkan dengan pelaksanaan Pemilu 2020 yang sukses digelar dengan penerapan protokol kesehatan," katanya, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis, 3 Maret 2022.

Kemudian, kata dia lagi, alasan penurunan perekonomian juga dipertanyakan, karena sepanjang tahun 2021 tercatat perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 3,69 persen.

"Artinya, alasan penundaan Pemilu Serentak 2024 yang disampaikan para elite parpol bukanlah alasan yang sebenarnya, namun terdapat maksud politik pada usulan itu," ujarrnya lagi.

Baca Juga: Hanya Dalam Waktu Sepekan, Satu Juta Warga Ukraina Mengungsi ke Negara Tetangga

Mencermati pimpinan parpol pengusul, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN), menurut dia, dapat dikatakan sebagai partai politik anggota koalisi partai yang memerintah (ruling party).

Namun, ketiganya berada pada posisi middle power, sementara major power dipegang oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

"Sederhananya, ketiga partai politik tersebut hanya berpeluang sebagai calon wakil presiden dengan calon Presiden dari major power," katanya.

Baca Juga: Koperasi di Cianjur 17,2 Persen Masih Aktif, Begini Penjelasan Kabid Koperasi  Cianjur, Nana Rukmana

Kondisi itu, menurut dia, membuat waktu dua tahun dirasa tidak cukup untuk melakukan lobi politik dan meningkatkan posisi tawar untuk mendapatkan “posisi aman” sebagai cawapres.

Agung mengatakan, sebenarnya waktu dua tahun dirasa cukup jika tidak terjadi hal yang krusial pada major power koalisi partai yang memerintah.

Ia menilai, elektabilitas dari model dinasti yang direncanakan oleh major power dari koalisi partai yang memerintah dengan PKB dan Golkar berada di dalamnya, tidak sejalan dengan kenyataan perilaku pemilih di lapangan.

Baca Juga: Peringatan Hari Raya Nyepi, Menag Yaqut Ajak Umat Hindu Tattwam Asi

"Hasil dari 25 lembaga survei tentang elektabilitas kandidat presiden menyebutkan bahwa 17 lembaga survei menunjuk Prabowo Subianto tertinggi dipilih oleh responden," ujar dosen FISIP Unej itu.

Sedangkan Ganjar Pranowo dari major power koalisi partai yang memerintah tertinggi dipilih responden pada 4 lembaga survei dan itu pun kurang 20 persen.

Padahal, menurut Agung, major power pada koalisi partai yang memerintah menginginkan politik dinasti, artinya bukan Ganjar Pranowo.

Baca Juga: Hati-hati! Luncuran Awan Panas Bergurguran di Gunung Semeru Status Siaga

"Akan menjadi berat bagi middle power untuk menaikkan elektabilitas ketua partainya di satu sisi dan dihadapkan harus bekerjasama dengan kandidat presiden yang kurang kuat elektabilitasnya," ujarnya.

Ia menjelaskan, gagasan paling pragmatis adalah swing dalam berkoalisi.

Elektabilitas Ketua Partai Golkar dan juga elektabilitas Ketua Partai PKB akan menjadi modal pada posisi tawar kepada ketua partai yang juga sebagai major power eks koalisi oposisi.

"Nah pada upaya mencari jalan untuk 'pasang dua kaki' antara berada dalam koalisi partai memerintah atau pragmatis melakukan swing itulah, waktu dua tahun itu dirasa tidak cukup," katanya pula.***

Editor: AR Rachmawati

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler