UU Cipta Kerja Resmi Disahkan, Berikut 14 Pasal yang Dinilai Kontroversial dan Bermasalah

- 6 Oktober 2020, 12:33 WIB
Massa aksi aliansi serikat buruh yang berasal dari seluruh industri di Rancaekek, Bandung, menggelar aksi menolak UU Cipta Kerja pada Selasa, 6 Oktober 2020.
Massa aksi aliansi serikat buruh yang berasal dari seluruh industri di Rancaekek, Bandung, menggelar aksi menolak UU Cipta Kerja pada Selasa, 6 Oktober 2020. /PORTAL JEMBER/Mohammad Syahrial

PR CIANJUR - Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law telah disahkan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam rapat paripurna pada Senin 5 Oktober 2020 kemarin.

Berbagai argumen hingga komentar pun membanjiri media sosial hingga gelombang mogok kerja terus berlanjut akibat disahkannya UU Cipta Kerja ini.

Diketahui, UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.

Baca Juga: Ini Dia Top Go-To Merchant Baru ShopeePay yang Bermanfaat untuk Kamu!

Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, UU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektifitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja.

Berikut ini 14 pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, sebagaimana diberitakan Ringtimesbali.com dalam artikel, "Ini 14 Pasal Bermasalah dan Kontroversial di UU Cipta Kerja, Mogok Kerja Berlanjut".

Pasal 59

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Baca Juga: Masih Ada Rp672,49 Miliar, Akankah Kartu Prakerja Gelombang 11 Dibuka? Ini Jawaban Pengelola

Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

Pasal 79

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas.

Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Baca Juga: Menkes Terawan 'Digugat' 41 Perhimpunan Dokter Terkait PMK Pelayanan Radiologi

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Baca Juga: BLT Rp1 Juta Dari Kemenkeu akan Segera Disalurkan, Simak Syarat dan Cara Jadi Penerimanya

Pasal 88

UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.

Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.

Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Baca Juga: Wakil Ketua DPR RI Tolak Interupsi Penentang Omnibus Law: Tidak Usah Mengajari Kami

Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Pasal-pasal UU Ketenagakerjaan yang Dihapus

Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.

Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca Juga: Pemerintah Beri Penjelasan, Soal Isu RUU Cipta Kerja Menghapus Cuti Haid dan Hamil

Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.

Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.

Baca Juga: AHY Tolak RUU Cipta Kerja: Terlalu Kapitalistik dan Neo-Liberalistik

Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.

Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.***(Tri Widianti/Ringtimesbali.com)

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: Ringtimes Bali (PRMN)


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x